Kerinduan yang Memanggil

kerinduanku

Sebagai seorang yang pernah tinggal di Pondok, sering kali kerinduan akan suasana pondok itu memanggil dan datang dengan memenuhi memori ingatan. Bukan hal mudah bagi saya untuk memulai kehidupan baru selepas lulus dari Pondok. Bayangan kehidupan asrama dengan teman-teman, dengan para pengasuh, dengan para pembimbing, lekuk ruang kamar asrama berulang-ulang kali hinggap dalam ingatan dan menorehkan rasa kehilangan sekaligus kerinduan. Rasa itu mendorong saya ingin rasanya kembali ke pondok dan menjalani kehidupan seperti biasanya di lingkungan pondok bersama orang-orang yang sudah saya anggap sebagai keluarga saya sendiri.

Bagian-bagian tertentu membuat saya merasa sedih bercampur haru. Apalagi tiga hari sampai satu minggu selepas meninggalkan pondok saya seperti merangkak pelan menjalani hari-hari baru dan hari-hari itu seolah-olah berjalan lambat. Saya mulai beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan bertemu dengan orang-orang baru dengan berbagai latar belakang. Perlahan saya memahami hakikat kehidupan baru ini yang sedang saya tempuh ini penuh dengan tantangan dan butuh keberanian.

April 2011. Tahun dimana saat saya lulus dari pondok dan tersemat sebutan alumni.  Bapak pimpindan pondok mengantarkan saya dan dua teman saya (santri pondok satu angkatan) dengan mobil Toyota Kijang miliknya ke lembaga yang bernama Rumah Gemilang Indonesia (RGI) di kota Depok. Saat itu kami mendapat beasiswa pendidikan dan pelatihan dari lembaga tersebut. Selama perjalanan dari Bekasi hingga tiba Depok, kami lebih banyak diam. Kami asyik merangkum semua kenangan yang sudah sekian lama terajut rapi. walaupun sebenarnya masing-masing kami memiliki perasaan yang tidak enak dirasakan. Perpisahan…

Hari itu persis saat dimana beliau mengantarkan saya dengan mobil sedan berwarna hijau lumut di hari pertama saya tiba pondok asrama putra sepuluh tahun yang lalu. Saat mengingatnya ada rasa haru memenuhi ruang hati saya. Rasanya cepat sekali waktu terlewat. Saya sadar perjalanan hari ini tidak mudah. Dan tidak akan pernah mudah. Bisa dibayangkan sepuluh tahun saya diasuh oleh Bapak Pimpinan Pondok beserta para guru di sana, diberi pendidikan ilmu agama, di ajarkan membaca Al-Qur’an dengan ilmu tajwidnya, diberikan pelatihan kepemimpinan, dan ditanamkan akhlak dan etika semenjak saya masih duduk di kelas empat sekolah dasar hingga saya menyelesaikan sekolah menengah atas. Sejatinya setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Dan perpisahan selalu saja menyisakan perasaan akan  kehilangan.

Saya belajar banyak dari kehidupan di Pondok. Saya belajar menghargai orang lain, saya belajar menjadi pendengar yang baik di setiap kajian dan kuliah tujuh menit. Saya belajar bagaimana cara berkasih sayang, saling menguatkan satu dengan yang lainnya, saling merangkul bila salah satu ada yang jatuh dan perlu dikuatkan. Saya belajar banyak dari cara mereka yang mengajak kepada kebaikan dengan bahasa yang lembut penuh kesabaran. Cara mereka menatap, tersenyum, memberi nasihat, dan merangkul saya adalah bukti bahwa persaudaraan yang di dasari keimanan adalah ikatan yang sangat kokoh. Saya teringat sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda : “Tidak sempurna iman seseorang diantaramu hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”

Melewati hari bersama teman-teman di asrama semakin lama semakin menambah kedekatan emosional diantara kami. Susah dan senang kami lalui bersama. Hari demi hari dilalui dengan penuh warna dan menyebarkan energi positif. Layaknya sebuah satu keluarga, bila salah satu anggota keluarga memiliki semangat belajar yang tinggi, maka energi semangat belajar yang tinggi itu menyebar kepada anggota-anggota yang lainnya. Bila salah satu di antara kami mendapat prestasi berupa memenangkan sebuah lomba, membuat seluruh santri ikut merasa bahagia. Sebaliknya bila ada santri yang sedang sakit, kami ikut berempati terhadap apa yang sedang di deritanya. Pondok ini milik bersama dan semua santri terlibat menjaga dan merawatnya.

Saya juga belajar hidup dengan sederhana. Pakaian kami adalah pakaian yang sederhana, yang bisa dikatakan sopan dan menutupi aurat. Handphone adalah barang yang dilarang berada dalam kehidupan pondok. Kami selalu menggunakan wartel (warung telepon) untuk menghubungi orang tua kami di rumah. Pesan dari kebiasaan hidup pondok yang sederhana ini adalah jangan bermegah-megahan dalam dunia. hakikatnya sesuatu yang akan kita bawa untuk kehidupan setelah mati adalah amal soleh dan hati yang bersih.

Saat ini tepat lima tahun saya lulus dari Pondok. Kerinduan itu masih tetap terasa. Kerinduan itu mengajak saya melalui lamunan panjang untuk berkeliling ke setiap lekuk dinding-dinding ruangan asrama dulu. Menapaki kembali melalui memori jejak-jejak langkah yang pernah terekam oleh waktu. Mengingat kembali masa-masa saya tumbuh remaja dan mulai mengerti makna cinta. Memutar kembali dan merasai kembali kasih sayang yang tersebar melalui perjumpaan demi perjumpaan, melalui pertemuan demi pertemuan.

Kerinduan akan masa-masa bersama dengan para santri lainnya yang memiliki cita-cita dan mimpi besar, yang tidak pernah berkecil hati namun memiliki semangat untuk membangkitkan martabat diri dengan belajar yang tekun dan membiasakan diri dengan akhlak yang baik.

Kerinduan ini biarlah tetap berada dalam relung hati saya. Waktu terus berjalan dan kenangan tidak akan pernah hilang. Selamanya kenangan selalu ada dan melekat di dalam hati ini. Biarlah saya menitipkan kerinduan melalui tulisan pendek ini dan menitipkan doa-doa untuk sahabat-sahabatku dan adik-adikku yang sedang menuntut ilmu di Pondok. Saya berharap kerinduan ini semakin bersemai dan membuat kita bisa berkumpul kembali di suatu tempat yang sama-sama kita rindukan.

 

Jakarta, 22 Nopember 2016

 

 

 

 

 

 

Leave a comment