“Hidup itu perlu direnungkan, tidak cukup hanya dilakoni.”
(Socrates)
Menjadi orang yang bahagia adalah idaman setiap insan. Bahagia adalah kata sifat yang ringan diucapkan namun dalam mewujudkannya butuh diperjuangkan. Setiap kita terlahir memiliki daya dan kemampuan untuk mengusahakan kebahagian itu. Kemampuan merasakan kasih sayang dari orang-orang yang kita cintai, kemampuan berempati dengan kehidupan orang lain yang sedang mengalami kesulitan, kemampuan menentukan sikap dan memberi respon dari masalah yang sedang di hadapi oleh diri sendiri. Kemampuan itu bersifat dinamis, berkembang seiring dengan waktu yang terus bergerak sesuai pengalaman hidup yang sudah dilalui.
Hakikat kehidupan adalah persinggahan sementara untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sudah ditentukan untuk menuju negeri akhirat. Kehidupan selalu menjanjikan ujian. Karena ujian pasti di alami setiap manusia, namun kondisi mental kita terkadang tak stabil dan kondisi hati tak menentu. Oleh karena itu kita membutuhkan energi-energi positif dari orang-orang terdekat yang menyayangi kita. Mereka itu bisa jadi adalah orang tua kita, kakak atau adik kita, teman kita, rekan kerja kita, atau guru kita. Maka benar ungkapan, manusia menjadi utuh saat ia berinteraksi dengan sesamanya. Karena ada sisi ruang dalam diri manusia dimana ruang itu tidak cukup menyimpan semua perasaan, semua masalah, semua harapan itu dengan sendirian. Ia butuh menyediakan ruang lain untuk berbagi dengan sesamanya untuk sekedar berbagi cerita, berbagi keluh kesah, dan berbagi semangat sebagai sarana berekspresi. Dan berekspresi adalah bagian kebutuhan manusia.
Tak perlu malu menceritakan masalah yang kamu hadapi kepada orang yang kamu percaya dia bisa amanah menyimpan kisah kehidupanmu. Kecewa adalah proses, menangis adalah proses, bersedih adalah proses. Rasa kecewa, sedih, menetaskan air mata karena luka yang begitu mendalam bukan sesuatu yang menunjukkan kelemahan dirimu. Dengan bersedih, kecewa, menangis, berharap, kamu telah mengekspresikan segenap perasaan yang hinggap di hatimu dan sekaligus menunjukkan sisi-sisi manusiawi yang ada dalam dirimu. Dirimu lebih tahu apa yang ada di hatimu dan perasaan apa yang sedang menyentuh hatimu. Dengarkan suara hatimu, lalu ajak ia berdialog untuk menarik kesimpulan yang terbaik yang kelak akan kamu jadikan pijakan dalam menentukan langkah kamu selanjutnya.
Rasa kecewa dan sedih, sikapi sewajarnya. Tak perlu berlama-lama, apalagi membuat optimis hidup luntur. Keduanya jangan dijadikan alasan untuk segera bangkit dan berbuat kebaikan lebih banyak lagi. Segera beranjak, menjemput harapan baru dengan hati yang baru. Biarkan waktu menjadi saksi atas setiap ikhtiar yang kamu kerjakan. Orang-orang yang menyayangimu dengan tulus menginginkan dirimu yang selalu optimis, selalu riang, selalu semangat, dan selalu menjadi dirimu sendiri.
Terkadang kamu perlu meluangkan waktumu untuk merenung dan berdiam diri. Berdiam diri dalam arti melihat seberapa jauh tapak langkahmu selama ini telah kamu tempuh, berapa banyak pencapaian dalam kehidupan yang sudah kamu raih dan berapa banyak rencana yang belum terealisasi, dan berapa banyak perbaikan yang akan kamu lakukan untuk menyempurnakan langkahmu sebelumnya. Bagaikan seorang musafir yang sedang duduk di bawah pohon rindang melepas lelah setelah melewati perjalanan yang panjang di bawah matahari yang terik. Ia menjadikan istirahat menjadi bagian dalam perjalannya. Istirahat itu ia jadikan untuk mengumpulkan energi-energi baru untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Pun demikian, manusia pun seharusnya menjadikan proses bermuhasabah (merenung sambil berintrospeksi diri) menjadi part of life (bagian dalam hidup) untuk mengukur sudah sesuaikah jalan yang di lalui menuju tujuan awal? Bekal apa yang butuh dipersiapkan untuk perjalanan selanjutnya? Apakah ia mampu memanfaatkan bekal yang dibawa secara efektif hingga mencukupi hingga akhir perjalanan? Dengan perjalanan sejauh ini, apakah rasa sabar dan syukur dalam dirimu semakin meredup ataukah semakin menyala?
Untuk meraih kebahagian, kamu yang harus berproses dari satu tahapan kehidupan ke tahapan selanjutnya. Orang lain di sekitarmu hanya mampu menasihatimu, mengingatimu agar kamu berjalan sesuai rambu-rambu yang berlaku, mengajakmu berlomba dalam kebaikan, dan memberitahumu mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah. Namun kamu sendiri yang harus berproses melewati satu anak tangga ke tangga berikutnya, dari satu level ke level selanjutnya. Dari satu titik kedewasaaan menuju ke titik kedewasaan selanjutnya. Proses itu dijalani sepenuh hati diiringi dengan rasa sabar yang kokoh.
Jakarta, 27 Mei 2017
2 Ramadhan 1438 H