Category Archives: Cerpen

Aku Mencintaimu Ibu


Cerpen : Aku Mencintaimu Ibu

Karya : Imron Prayogi

 

Sejak kamu terlahir, senyuman dan raut wajah Ibu kamu begitu bersinar saking senang akan buah hatinya yang terlahir. Tangan halus Ibu membelai wajah kamu yang masih mungil, polos, menggemaskan. Menatapmu dengan hangat penuh kelembutan. Ada rasa syukur yang membuncah memenuhi hatinya. Hatinya saat itu penuh dengan lantunan doa, semoga anak ini kelak menjadi anak yang sholeh dan tumbuh menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesamanya. Saat Ibumu berjalan sambil menggendongmu selagi kamu masih bayi sekedar membeli sayur-mayur atau sekedar jalan-jalan sore, dia berjalan dengan penuh rasa bangga, ini adalah anakku – karena ada dirimu yang sedang digendong olehnya. Semua usaha dan pengorbanan yang Ibu berikan tak pernah jadi soal, selama kebutuhan kamu tercukupi dan kamu bertumbuh sehat seperi anak-anak seusia kamu yang lain. Bagi Ibu, kamu tumbuh menjadi anak yang sehat , bersekolah dengan rajin, bermain dengan riang, dan selalu mudah untuk dimintai bantuan oleh Ibu, itu semua sudah membuat Ibu senang.

Jalinan kasih sayang yang sudah terbina sekian lama membuat hati Ibu dan kamu terhubung erat dan sangat dekat. Selamanya Ibu berharap bisa berada disisimu, mendampingimu di masa remajamu, menemanimu di masa kamu sedang mengalami kesulitan, mendekapmu di kala kamu sedang sedih. Namun manusia hanya bisa berharap, Tuhan yang Maha Menentukan. Ketika ekonomi keluarga sedang turun dan dari waktu ke waktu bertambah sulit, Ibu hanya memikirkan cara bagaimana kamu bisa melanjutkan sekolah. Bagaimana cara agar kamu bisa menjemput janji-janji kehidupan yang baik. Hari-hari yang berat Ibu rasakan saat itu. Malam-malam panjang, doa lirih Ibumu teruntai dalam sujud panjang berharap menemukan jalan keluar dari masalah kesulitan ekonomi yang dihadapi Ibu. Doa yang dimana bila saja kamu mendengarkannya dan memahaminya kala itu, hatimu akan penuh rasa haru bercampur sesak. Karena doa yang Ibumu panjatkan berasal dari hati yang tulus dan penuh pengharapan. Karena Ibumu selalu mengirimimu doa yang amat sangat spesial untukmu… untukmu. Dan kamu percaya? Doa itu masih terus berlanjut hingga saat ini dan masa-masa yang akan datang. Ibumu selalu memiliki waktu untuk itu. Selalu.

Kabar baik itu datang dari Kakak sulung Ibu memberi informasi mengenai panti asuhan dengan beasiswa penuh di daerah Bekasi. Di saat itu mesti memilih. Bagi Ibu itu merupakan pilihan yang berat. Sangat berat. Tidak pernah terpikir bagi seorang Ibu untuk menitipkan anaknya ke tempat yang jauh dari jangkauannya. Tidak pernah hati Ibu terbersit untuk hidup tanpa anaknya berada disisinya. Sungguh, ini pilihan yang sangat sulit bagi Ibu. Setelah beberapa hari mempertimbangkan ide itu dan mencoba berfikir realistis, akhirnya Ibu mengambil keputusan, kamu harus melanjutkan sekolah di panti asuhan tersebut. Malam harinya Ibu merapikan dan mengemasi beberapa setel pakaian ke dalam tas punggung untuk bekal kehidupan di lingkungan barumu esok hari lalu memanggilmu dengan raut wajah gembira Ibu berkata, “Fahmi, kamu dengarkan nasihat Ibu. Besok kamu akan kembali sekolah tapi tidak di sini. Kamu akan kembali bersekolah di Bekasi dan kamu akan tinggal di Panti Asuhan.” Kamu yang saat itu masih anak yang berusia belum genap sembilan tahun dengan polosnya menyetujui pesan Ibu. Kamu tersenyum lebar mendengar kabar Ibu. Yang terpikir olehmu adalah akhirnya kamu bisa melanjutkan sekolah kembali setelah sekian minggu terhenti karena faktor ketidaksanggupan membayar biaya sekolah.

Hari yang dinanti tiba. Sebelum berangkat ke panti asuhan, kamu berpamitan dengan teman-teman dan beberapa tetangga di sebelah rumah. Beberapa teman akrab yang sudah cukup lama mengenalmu ikut menemanimu hingga jalan rata untuk menaiki mobil angkot. Kamu berjalan dengan tegap tanpa rasa khawatir akan perpisahan sudah menanti di depan mata. Tiba di pinggir jalan raya, kamu berjabat tangan dan melambaikan tangan ke arah teman-temanmu sambil berkata, “Aku akan cepat kembali lagi kesini. Ke rumah ini.” Kamu yang waktu itu masih belum mengerti akan kata cepat kembali sudah memiliki harapan untuk segera kembali ke rumah ini.

Sepanjang perjalanan dalam mobil angkot, separuhnya kamu lewati dengan duduk tertidur di samping Ibumu. Kamu tahu? Selama perjalanan Ibu menatap wajahmu yang putih dengan lekat sekali, tatapan yang begitu lembut, tatapannya seperti ingin menolak perjalanan ini namun apa daya ini pilihan terbaik untuk masa depanmu. Mengusap dan membelai rambut dan keningmu penuh kasih sayang, layaknya seorang Ibu yang ingin selalu dekat dengan anaknya. Sesekali dia tersenyum kecil menghibur dirinya, perpisahan ini hanya sebentar. Lalu membisikkan kata di telingamu dengan suara lirih agak tertahan, “Ibu mencintaimu Fahmi dan selalu akan mencintaimu.”

Tiba di sebuah perempatan terakhir, Ibu dan kamu turun dari angkot. Untuk sampai ke panti asuhan kamu mesti berjalan kaki seratus meter. Kamu turun dengan wajah bingung, ada pertannyaan di bola matamu Bu, kita dimana?. Ibu memahami tatapanmu lalu berkata “Fahmi, panti asuhan sudah dekat. Kita butuh berjalan kaki sekitar lima menit dari sini.” Sebelum berjalan, Ibu memintamu untuk duduk sejenak di trotoar pinggir jalan dan memberimu minum dalam botol yang sudah diisi air dari rumah. Lalu Ibu terdiam. Kamu tahu apa yang Ibu rasakan saat itu? Kamu tahu hati Ibu yang saat itu berkecamuk hebat. Ada keraguan yang besar saat Ibu ingin melangkahkan kaki ke panti asuhan yang sudah sangat dekat itu. Kamu tahu, tidak ada seorang Ibu yang tega menitipkan anaknya yang masih usia sembilan tahun ke tempat lain, entah itu panti asuhan, rumah saudaranya, atau tempat-tempat lainnya. Setiap Ibu selalu ingin anaknya tumbuh besar dan hidup berdampingan dengan anaknya. Ibu ingin kamu selalu berada di sisinya. Menemanimu meniti hari-hari panjang yang akan membuatmu tumbuh dewasa, mengajarimu untuk bertutur kata yang sopan dan berperilaku yang baik,  mendampingimu saat-saat dirimu mulai remaja dalam menemukan jati diri, berbagi cerita melepaskan penat pikiran dan diskusi hangat di meja makan yang sering kali mengundang tawa dan senyummu.

Sekilas kamu melihat wajah Ibumu. Lalu tangan kananmu menyentuh tangan Ibu dengan polos kamu bertanya, “Ibu kenapa terdiam?” Kamu menarik tangan Ibu, “Ibu, ayuk kita lanjutkan perjalanan sudah sebentar lagi kan kita akan sampai, iya kan Bu?” Ibumu menangkap sinyal dari sinar matamu, aku ingin segera bersekolah. Dari pertanyaanmu dan sorot matamu itu membuat Ibu berani melanjutkan langkah kaki hingga tiba di panti asuhan dan bertemu Ibu pengasuh. Lalu Ibu mengawali pembicaran dengan Bunda –santri-santri panti asuhan memanggil Ibu pengasuh dengan nama Bunda- dengan memberikan penjelasan tentang dirimu, tentang karakter dirimu, tentang hobimu, dan tentang kondisi ekonomi keluarga. Setelah itu Bunda memberikan kamu kertas  diatasnya bertuliskan tata tertib. Bunda berkata, “Fahmi, silahkan tata tertib itu dibaca dengan cermat,  pahami setiap poin-poinnya, lalu kamu katakan kepada Bunda apakah kamu bersedia mematuhi tata tertib itu selama kamu tinggal di panti asuhan ini?” Kamu membacanya setiap detail kata demi kata, poin demi poin, sambil kamu pahami, setelah itu kamu merasa yakin, lalu kamu berkata lembut, “Aku bersedia dan aku akan berusaha menyanggupi untuk mematuhi seluruh tata tertib di panti asuhan ini,” ucapku dengan memberi penguatan pada kata bersedia dan menyanggupi.

Ini adalah menit-menit yang sangat berat bagi Ibu. Ada rasa sedih dan haru yang menyelinap di ruang hatinya. Dimana inilah saatnya melepasmu di tengah orang yang baru dikenalnya. Berpisah dengamu yang berarti menjauh dari anak yang sangat dicintai sepenuh hati dan jiwanya. Semua rekaman masa lalu seketika itu hadir bertubi-tubi memenuhi benak dan pikiran Ibu. Masa-masa dimana kamu menangis saat masih bayi, lalu Ibumu mendekatimu, memelukmu, dan memberimu apa yang kamu butuhkan kala itu lalu kamu berhenti menangis, masa-masa dimana kamu masih belajar merangkak- Ibumu dengan sabar melatihmu perlahan sambil menyemangatimu dengan senyum hangatnya-, hingga kamu bisa berjalan seperti saat ini. Masa dimana bibirmu mengeja dengan terbata-bata memanggil nama I..bu, Ib..bu, Ibu.

Sebelum pamit dengan Bunda, Ibu setengah merunduk menghadapmu lalu kedua tangannya menyentuh pundakmu, menatapmu dengan sorot mata cerah seolah-olah kuat, lalu berkata, “Fahmi, Ibu mesti pamit dari sini. Kamu yang betah ya disini. Walau Ibu tidak ada didekatmu, tapi disini ada Bunda yang akan menjagamu. Kamu anak yang hebat Fahmi. Ibu  bangga memiliki anak sepertimu. Kamu selalu membuat Ibu senang, membuat Ibu tersenyum, membuat Ibu bangga atas prestasi belajarmu, dan sampai hari ini belum sekalipun kamu membuat Ibu kecewa. Sekarang…. kamu mesti membuat Bunda senang dan kamu jangan buat Bunda kecewa ya. Ibu yakin kamu….. kamu bisa menjalani hari-hari selanjutnya… seperti hari-hari biasanya.” Perlahan air mata Ibumu telah menetes di pipinya. Bening sekali. Kemudian terisak dalam tangisnya. Ibumu terdiam menarik nafas dalam. Wajah Ibumu menunduk. Mengumpulkan tenaga untuk mengucapkan kata selanjutnya. Kamu yang belum mengerti arti perpisahan saat itu ikut terharu. Matamu memanas, ada gumpalan bening yang hendak jatuh namun kamu masih bisa menahannya.

Setelah perpisahan ini mungkin kamu akan mengerti betapa beratnya Ibu melepasmu dan berpisah denganmu. Bunda yang berdiri disamping Ibu ikut terhanyut dalam suasana mengharukan ini. Dia juga berkali-kali menyeka air matanya dengan tisu di tangannya. Sesekali tangan Bunda menyentuh pundak Ibumu, matanya menatap mata Ibu seolah tersirat pesan, jangan bersedih Bu, aku berjanji akan menjaga anakmu.

Ibu kembali mendongakkan wajah dan menatapmu dengan nafas sedikit lega lalu berkata dengan suara tertahan, “Jaga dirimu baik-baik disini ya. Ibu mencintaimu Fahmi…sangat-sangat mencintaimu..” Ibu menghambur memelukmu erat sekali.  Rasa sedih yang Ibu rasakan membuatmu mengerti betapa sedih jiwa Ibu melepasmu dalam menjalani perjalanan panjang ini tanpa Ibu di sampingmu. Kamu terdiam dalam pelukan Ibumu. Seketika itu kamu merasakan apa yang Ibumu rasakan. Wajahmu menunduk dalam. Rasa sesak memenuhi hatimu. Air matamu menderas. Kamu menangis sesenggukan. Lalu kamu mencoba mengangkat wajahmu dan menatap hangat Ibumu lalu dengan suara lirih kamu berkata, “Aku…Aku…Aku juga mencintai Ibu karena Allah.” Tangismu semakin keras. Ibu kembali memelukmu.

Dengan nafas yang sudah agak teratur kamu kembali berkata,  “Perpisahan ini hanya sementara iya’ kan Bu? Terima kasih sudah menjadi Ibu yang teramat istimewa bagiku. Aku akan selalu merinduimu Ibu. Aku berjanji aku akan segera kembali pada Ibu.”

“Iya Fahmi, perpisahan ini hanya sementara Fahmi. Ibu akan selalu menantimu kembali pada Ibu. Selalu.” Ucap Ibu sambil mengecup keningmu.

Ibu pamit pada Bunda. Lalu dia berjalan ke arah jalan raya kemudian menaiki mobil angkot menuju rumah. Hari telah senja. Sebagian awan hitam membuat langit gelap. Mendung. Sore ini Aku berdoa penuh penghayatan dan pengharapan.

“Ya Allah, rahmatilah kebaikan Ibuku. Berikan ia kelapangan hati dan jiwa yang kuat dalam perpisahan sementara ini. Ya Allah, aku memohon hidayah-Mu agar aku menjadi anak yang soleh. Karena dengan kesalehan itu Engkau akan selalu mendengar doaku untuk Ibu.”

 

Jakarta, 29 Oktober 2016

 

 

 

Rindu di Penghujung Senja

Ini adalah Challenge menulis OWOP (One Week One Paper). Temanya STORY BLOG TOUR PART 2.
Setiap  member yang sudah diberi urutan menulis melanjutkan cerita sebelumnya .
Saya Imron Prayogi mendapatkan giliran untuk membuat episode tujuh dalam serial STORY BLOG TOUR PART 2 ini.

 

 

Hari semakin sore. Terik matahari perlahan menghilang. Berganti cahaya kemerahan-merahan berpadu warna emas langit sore ini. Gumpalan awan sudah tidak nampak lagi. Angin sore itu menerpa dua orang yang sedang duduk di depan teras surau itu.

“Ini Pak, foto ibu saya Pak. Sebelum Ibu saya wafat, beliau berpesan,  “Pergilah ke dusun ini dan temuilah orang yang selama ini kamu cari. Orang itu adalah ayahmu. Sampaikan permintaan maaf dari Ibu kepada Bapakmu selama ini ibu belum bisa berbakti kepada suaminya.”

“Aku ingin menemui orang itu sebagai bukti baktiku kepada ibuku. Pesan itu menjadi wasia bagi saya. Bahwa wasiat itu adalah amanah bagi saya yang mesti saya tunaikan. Aku sangat merindui ayah. Sejak dulu, saat saya masa kanak-kanak, saat saya tumbuh remaja… rasa rindu itu masih tetap sama. Tidak pernah berkurang sedikitpun. Bantu aku Pak, mencari dan menemui orang itu. aku mohon…” ucap Karman dengan wajah penuh harap.

Kardi menerima foto dari anak muda tersebut dengan tangan bergetar. Itu adalah foto pernikahan dirinya dengan Marni. Matanya menghangat.

Marni… ucapnya lirih.

Sempurna sudah rasa rindu dan sedih menyatu dalam diri Kardi. Luka lama yang sudah dibalutnya dengan rapi sekarang menyeruak berubah menjadi rindu yang sangat mendalam. Cepat sekali. Orang yang selama ini dicintainya telah berpulang untuk selama-lamanya.

“Marni…. ibumu…. “ suara Kardi tertahan. Nafasnya menjadi tidak beraturan.

“Dia adalah ….. istriku. Foto yang kamu tunjukkan ini adalah foto pernikahan bapak dengan ibumu.” Tubuhnya langsung memeluk anak muda yang ada dihadapannya berucap lirih,

“Nak, akulah orang yang selama ini kamu cari. Akulah ayahmu. Maafkan ayah selama ini membiarkan kamu dan ibumu menderita. Maafkan aku tidak mendampingimu dan mendidikmu sejak kamu masih kecil.”

Karman pun memeluk erat tubuh orang tua yang baru ia tahu bahwa orang tua itu adalah ayahnya. Air mata Karman kian menderas. Ada rasa bahagia dan haru yang kini hadir di hatinya. Rindu bertemu ayahnya sore itu menjadi kenyataan.  Rasa lelah yang menderanya membuahkan hasil sesuai dengan harapannya.

***************

Dua puluh tahun yang lalu.

Kejadian ini bermula dari kecelakaan yang menimpanya saat ia sedang mengendarai mobil. Kecelakaan yang membuatnya harus dirawat berbulan-bulan bahkan hampir genap satu tahun. Saat itu hari-harinya dilalui dengan resah. Bukan hal mudah menerima kenyataan pahit seperti itu. Ia yang sebelumnya bisa beraktivitas dengan penuh enerjik dan cekatan berubah menjadi seseorang yang terbaring lemah dengan luka-luka di rumah sakit dengan waktu yang lama.

Pada bulan kesebelas, Kardi diperbolehkan rawat jalan. Ia sudah diberikan izin untuk pulang oleh dokter. Hatinya berbunga-bunga mendengar kabar baik itu. bibirnya seketika tersenyum lebar. Begitu pun dengan Marni. Marni jadi lebih semangat merawat Kardi di rumah. Kardi dan Marni saling menatap dan tersenyum lebar.

Tiba di rumah. Kardi mengingat seseorang yang telah banyak membantunya saat dirinya dirawat di rumah sakit. Pak Ilham namanya. Segera dirinya mengetik dan mengirim sms kepada Pak Ilham memberi kabar ia saat ini sudah memberi diberi izin oleh dokter untuk rawat jalan. Ia sudah kembali ke rumah.

Pak Ilham adalah orang yang pertama menolong dan membawa dirinya ke rumah sakit saat kecelakaan beberapa waktu yang lalu. Dari Pak Ilham dia mendapat nasehat untuk terus sabar, untuk terus optimis, untuk terus berdoa. Usia pak Ilham empat puluh lima tahun. Dia adalah seorang guru agama Islam di Madrasah Aliyah Negeri. Dia yang mengajari tata cara shalat dalam kondisi sakit. Sesekali dia dan istrinya menjenguk Kardi sekaligus membawakan buku-buku Islami seperti Qishatul Anbiya (Kisah Para Nabi) Karya Imam Ibnu Katsir dan  Laa Tahzan karya Dr. Aidh Al-Qarni.

“Pak Kardi, sirami jiwamu dengam memprioritaskan perintah Allah kapan pun dan dimana pun. Dengan begitu Allah akan menjaga dan merahmatimu. Diriwiyatkan Imam Tirmidzi  dan Imam Ahmad dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah sawa bersabda : Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu.”   Dengan begitu Allah akan membimbingmu menuju jalan-jalan kebaikan, serta mencegahmu dari segala keburukan.” Pesan Pak Ilham saat menjenguk Kardi di rumah sakit.

Pagi hari Kardi bangun dengan wajah semangat. Ia merasa lebih baik setelah rawat jalan ini. Emosinya juga lebih stabil. Energi positif hadir di rumahnya dan membuat ia juga lebih optimis. Mentalnya untuk sembuh kian menguat. Kaki dan tangannya sudah bisa digerakkan walaupun masih sangat kaku.

Ternyata bahagia yang dirasakan Kardi hanya sebentar. Pagi itu strinya meninggalkannya sendirian. Ia sekuat tenaga menahan Marni agar tidak pergi. Tetapi semua itu percuma. Marni tetap bertekad pergi entah kemana .Tanpa memberi kabar mau kemana dan kapan akan kembali. Hatinya tidak kuat menerima kenyatan ini. dan dia merasa tidak akan pernah kuat ditinggalkan istrinya yang sangat dicintainya. Mentalnya menjadi lemah dan jatuh.

Pagi itu sinar matahari menerpa wajah Kardi yang sendu. Raut sedih di wajahnya mengisyaratkan betapa dalam luka yang menggores hatinya. Saat itu juga jatuh terduduk untuk ke sekian kali. Semangat hidupnya hancur luluh lantak menerima kenyataan pahit. Berkali-kali mengusap wajah dengan kedua tanganya dengan isak tangis yang kian sesak. Goresan lukanya menyisakan murung dan tak ada gairah semangat hidup lagi di wajah Kardi.

Sore hari saat Kardi  duduk di sofa ruang tengah terdengar seseorang mengetuk pintu. Apakah itu kau Marni?

Bukan. Tamu itu bukan Marni. Tamu itu adalah Pak Ilham. Pak Ilham sendiri datang mengunjungi Kardi. Kardi mempersilahkan Pak Ilham masuk ke rumahnya. Kardi berusaha tersenyum dan menyembunyikan wajahnya yang sedih seolah-olah semua baik-baik saja. keduanya saling berbincang-bincang membahas kesehatan Pak Kardi.

“Bila Pak Kardi butuh biaya untuk biaya chek up berkala dan obat-obatan, Bapak bisa hubungi saya. Pak Kardi tidak perlu sungkan. Pak Karman tidak pernah saya anggap orang lain dalam kehidupan saya. Pak Kardi sudah saya anggap sebagai saudara saya sendiri. Bila Pak Karman butuh cerita, maka ceritalah, saya siap mendengarkan semuanya.”

Hati Kardi terenyuh mendengar kalimat itu. Ia tahu Pak Ilham adalah orang yang membuatnya mengenal Allah lebih dekat. Dia adalah orang yang saleh dan tulus membantu siapa pun. Maka dengan suara bergetar,  Kardi menceritakan kesedihan yang melandanya pagi tadi. Satu-dua dia terdiam cukup lama saat menceritakan itu. Pak Ilham mendekat duduk disamping Pak Kardi mencoba menenangkan. Membiarkan Kardi meluapkan semua yang dirasakannya.

“Pak Kardi, bersabarlah dan jangan pernah berputus asa. Jadikan kesedihan hari ini menjadi cermin yang menasihati langkah. Hidup itu seperti kapal yang mengarungi di lautan. Kita tidak pernah tahu, kapan dan dimana gelombang laut itu membanting kita, membanting seluruh kehidupan kita. Membuat kita lumpuh akan mimpi-mimpi kita dan melenyapkan semangat hidup kita. Membuat kita jatuh terduduk.” Ucap Pak Ilham dengan wajah prihatin.

“Jadikan kesedihan, duka, luka hari ini sebagai modal untuk menjadi pribadi yang kuat di masa mendatang. Jadikan hal itu agar Pak Kardi kembali taat, tidak lemah sedikit pun. Tidak memilih jalan yang lain. Apa gunanya sedih dan luka tapi tidak membuat kita lebih tunduk kepada Allah Yang Maha Menghendaki. Tidak membuat kita kuat mengatasi rongrongan hawa nafsu. Tidak memmbuat kita tangguh dalam menghadapi lingkungan yang mendesak kita kepada jurang dosa. Yuk, mari sikapi masalah hari ini bersama-sama. Pak Kardi harus tetap semangat, harus tetap optimis, harus tetap ceria, dan harus melanjuti kehidupan ini dengan gagah.”  Pak Ilham dengan mencoba menenangkan.

Sejak hari itu Kardi pindah di sebuah rumah yang berdekatan dengan rumah Pak Ilham. Kardi menjual rumah lamanya. Uang dari hasil menjual rumah lama miliknya itu dipergunakan untuk membeli rumah yang sekarang di tempatinya. Dia tidak sampai hati melanjuti hidup di rumah lamanya. Karena di rumah lamanya itu seperti bayangan Marni selalu menghampirinya. Setiap sisi rumahnya membuatnya teringat dengan Marni. Membuatnya tidak bisa move on dari kesedihan dan luka lamanya. Dia bekerja di rumah Pak Ilham sebagai tukang rawat kebun. Malamnya dia belajar membaca Al-Qur’an dari Pak Ilham.

3 tahun kemudian. Pak Ilham dan keluarga pindah ke pulau seberang. Dia ditugaskan oleh Kementerian Pendidikan untuk mengajar disana. Sebelum berangkat Pak Ilham berpesan kepada Kardi.

“Ini saya menintipkan uang untuk membangun surau. Tanah lapang yang ada di depan rumah saya adalah tanah milik saya. Saya minta tolong Pak Kardi yang saya tunjuk sebagai ketua panitia pembangunan Surau tersebut. Dan ini saya berikan surat perijinan dari Pak RW dan Pak Kepala Desa. Mereka sudah memberikan izin untuk pembangunan Surau.” Pak Ilham memberikan uang  senilai seratus juta rupiah dan berkas perizinan pembangunan Surau.

Baik Pak Ilham. Saya akan menjalankan amanah pekerjaan ini.” Kardi menerima uang tersebut. Wajahnya agak terkejut tapi dia berusaha bersikap tenang.

Enam bulan selesai pembangunan Surau itu. Kardi berusaha melaksanakan amanah dari Pak Ilham dengan penuh tanggung jawab.

***************

Dua orang di teras Surau itu memiliki perasaan yang sama. keduanya sedang berbahagia. Keduanya sudah menemukan orang yang dicintai sekaligus dirindui selama ini. Waktu yang menjawab doa dua orang itu menjadi kenyataan.

“Anakkku, maukah kau tinggal bersamaku. Menemani di sisa-sisa hari yang ku miliki. Mendampingi orang tua sepertiku ini?”

Dengan senang hati a…yahku. Ayah, hari ini aku pulang ke rumah ini, ke hati ayah.” ucap Karman sediki bergetar.

Keduanya kembali tersenyum. Benar sekali, sejauh-jauh diri kita pergi. Tetap kita rindu akan pulang. karena di sana letih terobati. Karena di sana tempat kita berteduh dari segala kepenatan dunia. karena di sana ada orang tua yang selalu memberikan rasa nyaman dan kita merasa terlindungi oleh mereka.

Selesai.

 

Selesai ditulis,

Di Jakarta, 31 Januari 2016

Tips Menulis

Sudah enam bulan aku bekerja sebagai staff Accounting di perusahaan ini. aku merasakan ada hobi baru yang aku sukai, yaitu hobi membaca blog. awal mula hobi ini mungkin karena memang lima hari  dalam seminggu aku duduk di depan komputer selama delapan jam per hari. di sela-sela waktu itu, aku sering memanfaatkan untuk browsing. saat itu pula aku suka baca blog.

 

Aku suka blog yang berisi pengalaman penulis blog yang ditulis dengan bahasa sehari-hari. dari sana  saya menangkap, kok bisa ya mereka (penulis blog) menulis seperti itu? lalu timbul pertanyaan dalam hatiku, apa aku bisa menulis? apa nantinya tulisanku bisa sebaik blogger-blogger ini? untuk bagian ini aku ragu mengiyakan. sudahlah, yang penting aku suka dengan hobi membaca, itu juga sudah membuatku senang.

 

“Mas Imron, belum pulang?” pertanyaan seorang Office Boy membuyarkan lamunanku sore itu.

“Eh Mas rian. iya mas sebantar lagi. ini mau siap-siap pulang.” jawabku datar

 

Aku pulang. sore ini aku harus bertanya sama siapa atau lebih tepatnya saya mesti cerita sama siapa  tentang keinginanku untuk menulis. aku belum pernah ikut komunitas menulis dan belum pernah mendengar teori-teori dalam kepenulisan.

 

Satu minggu berlalu.

 

Hari ini hari Senin. Pak Denny, selaku General Manager, meminta seluruh karyawan berkumpul di aula pertemuan. “temen-temen semua, hari ini saya ingin memperkenalkan seorang karyawan baru di kantor kita namanya Ana Alfina. Disini dia akan membantu divisi Finance dan Accounting. Saya mengucapkan selamat bergabung di perusahaan kami.” Jelas pak Denny kepada kami. Setelah perkenalan itu, Ana diberitahu ruangan dan meja kerjanya. Dalam hati aku senang. Eh bukan hanya aku tetapi tim divisi Finance dan Accounting juga pasti senang. Karena dengan bertambahnya jumlah orang di divisi ini akan mengurangi beban kerja yang memang menurut kami sudah sangat terlalu padat.

 

“Ana, ini Imron, rekan kerjamu di divisi ini. Imron, tolong kamu beri arahan dasar dan mengenalkan job description di divisi ini ya. Termasuk dengan lingkungan kerja disini seperti apa. Bapak percaya kamu bisa membantu Ana untuk memahami tugas-tugas dan menyesuaikan di lingkungan kerja yang baru ini.” pinta Pak Denny dengan sorot mata yang meyakinkan.

 

“Baik Pak, saya akan membantu menemani Ana untuk menjelaskan tugas-tugas yang dikerjakan.” Jawabku mengiyakan sambil tersenyum.

 

Minggu pertama, saya mencoba memperkenalkan siklus kerja kepada Ana. Mulai dari pembuatan voucher Bank, pencatatan transaksi di aplikasi software akuntansi, sampai menyusun laporan keuangan. Dalam satu minggu ini, saya lebih banyak menerangkan berkas-berkas yang akan dicatat, lebih banyak share tentang kondisi karyawan disini yang sudah ku anggap seperti keluarga karena sudah saking akrabnya satu dengan yang lainnya.

 

“Disini Ana, tidak perlu malu dan sungkan untuk bertanya dan minta tolong. Disini kita saling bantu kok. Mungkin awalnya kaku, sedikit jaim, tapi lama-kelamaan juga bisa berbaur dan akrab dengan yang lain.”

 

“Iya Mas Imron. Saya coba untuk memahami lingkungan kerja disini dan rincian kerja yang diberikan kepada saya. Maaf juga ya Mas Im kalo saya sering ganggu waktu kerja Mas untuk bertanya pekerjaan yang belum saya ngerti.”

 

“santai aja Ana. Membantu Ana kan bagian dari tugas saya yang beberapa waktu lali disampaikan Pak Denny, masih ingat?.”

 

“Oh iya, iya saya ingat itu.”

Satu bulan berlalu.

 

“Mas Imron, ini saya ada brosur seminar kepenulisan di Univ. Negeri Jakarta hari minggu ini. barangkali Mas tertarik ikut, Mas bisa datang.” suara Ana membuatku menengok setengah kaget. Aku terdiam sejenak.

“Dilihat dulu brosurnya nih.” Pinta Ana sambil menyerahkan brosur kepadaku.

 

Aku membaca brosur tersebut. Mataku melihat nama pembicara seminar tersebut adalah Tere Liye, penulis novel yang kini banyak diminati remaja termasuk aku. Aku tidak bisa membohongi aku sedang bahagia. Ini mungkin jawaban dari kegalauanku untuk mulai menulis. Tapi aku heran kenapa Ana seperti seolah-olah tahu kalo aku memang sedang bingung untuk memulai menulis.

“Mas Imron kok diam.”

Gak apa-apa Ana. Kenapa Ana memberikan brosur ini kepada saya?

Emang gak boleh? Jawab Ana dengan raut wajah meledek.

“Boleh aja. Tapi kok seperti Ana ngerti hal yang sedang aku bingungi.”

“hehehe. Aku hanya nebak aja Mas Im. Sudah satu bulan saya kerja di kantor ini dan satu ruangan sama Mas Im, Mbak Rini, dan Pak Rifa’i. Dan meja yang paling dekat dengan aku kan, Mas Im. Ini hanya hasil amatanku aja, Mas Im suka baca blog yang isinya diary penulis blog, artikel-artikel, cerpen-cerpen di blog.  Dan sepertinya Mas Im juga tertarik dengan dunia menulis. Buktinya, satu minggu belakangan ini tiap setengah jam sebelum dimulai jam kerja, Mas Im selalu nulis dua atau tiga paragraf. Kadang juga Ana lihat Mas Im gak pede denga tulisan Mas Im. Seperti Mas Im sering mencorat-coret kata yang salah. Membuang kertas hasil tulisan yang menurut Mas Im gagal. Ana pikir nanti di dalam seminar kepenulisan ini Mas Im bisa lebih mengerti tentang tips menulis.” Ana menjelaskan.

“hm iya iya. Ana benar. Aku sedang bingung untuk menulis yang baik itu yang gimana? Aku menulis tiap pagi hanya niat coba-coba aja. Tetapi seringnya aku merasa tulisanku jelek. Terlalu kaku, datar aja gitu. Itu saja sudah membuat saya gak pede untuk mulai nulis lagi.”

 

Siang itu juga saya daftarkan diri ikut seminar tersebut dan kemudian saya transfer biaya seminar sejumlah biaya yang tertera di brosur di mesin ATM yang letaknya tidak jauh dari kantor. Aku mengusap wajahku, berharap semoga di seminar ini aku menemukan titik terang atas kegalauanku dalam menulis. Tak terasa keringat di dahiku mengucur. Semakin lama semakin menderas. Siang ini benar-benar panas. Ku naiki sepeda motor ku dan ke putar tuas gas. Aku kembali ke kantor.

 

Hari Minggu.

 

Satu jam sebelum acara dimulai aku sudah sampai lokasi seminar. Sudah agak ramai. Memang penulis yang mengisi seminar kali ini benar-benar dinantikan banyak orang terutama para mahasiswa. Tepat pukul 09.00 pagi acara dimulai. Suasana gedung aula Sertifikasi Guru Universitas Negeri Jakarta sangat ramai, bahkan tumpah keluar ruangang. Beberapa panitia terlihat sibuk menata kursi agar semua bisa menyaksikan seminar ini dengan posisi duduk.

 

Acara dibuka dengan sambutan dari penyelenggara seminar. Moderator mempersilahkan Bang Tere Liye menyampaikan materi kepenulisan. Saya menangkap tiga poin dari apa yang disampaikan Bang Tere, menulis memiliki sudut pandang yang spesial, menulis membutuhkan amunisi (banyak membaca buku), menulis butuh kebiasaan. Poin yang ketiga menulis butuh kebiasaan ini yang sangat menarik bagi saya.

 

Bang Tere bilang, “6 bulan kalian menulis 1000 kata sehari, kalian akan menjadi penulis yang baik. Dititik hari ke 181 kalian akan jadi penulis yang tak perlu panduan dalam menulis. Tapi bang tere, saya kalau di blog ingin banyak yang comment, banyak yang like? kalau kalian punya cita-cita seperti itu, maka kita sudah beda paham, saya datang mengajari kalian untuk jadi penulis yang baik, menulis bukan untuk perhitungan jumlah like atau jumlah comment  karena penulis yang baik tidak pernah peduli comment dan like orang, tak pernah peduli jadi buku atau tidak, ia hanya menulis. Seperti pohon kelapa, dia tidak pernah peduli kemana buah kelapanya jatuh dan memyebar. Tidak mungkin pohon kelapa mencatat kemana perginya buah kelapanya.”

 

Diakhir pertemuan bang Tere Liye memberikan pesannya, closing yang katanya sama disetiap workshop yaitu…

“Adik-adik sekalian, ada sebuah nasihat tua yang sangat indah.. apa itu nasihatnya? Waktu terbaik menanam pohon adalah 20 tahun yang lalu, jika kalian tanam 20 tahun yang lalu, maka hari ini kalian akan mendapatkan pohon yang besar, buahnya banyak, daunnya rimbun, batang ranting yang sudah tua bisa dijadikan kayu bakar. ‘Bang Tere saya sudah terlambat, saya baru dengar nasihat ini sekarang, sedangkan saya sudah berusia 20 tahun.’ Maka camkan ini baik-baik… waktu terbaik kedua menanam pohon adalah hari ini, dan setelah itu .. tidak ada lagi waktu terbaik… tidak ada. Karena bila kalian menanam pohon hari ini, 20 tahun kemudian kalian akan menemui pohon kalian berbuah banyak, daunnya rimbun. Maka, jangan terlambat lagi ya adik-adik.. jangan terlambat. Karena 20 tahun yang akan datang akan cepat, karena waktu itu Kejam. Catat baik-baik nasihat saya ini.”

 

Hari ini berkesan sekali buatku. Seminar ini mengubah cara pandangku menulis. Kini, dalam hatiku hanya ingin menulis dan menulis. Tidak lebih.  Tanpa peduli banyaknya like dan comment. Karena menurutku menulis adalah berbagi cerita yang dirasai dan sarana me-muhasabahi diri untuk menjadi pribadi yang baik dari waktu ke waktu.

 

 

Imron Prayogi

Ditulis Pada : 09/10/2015

Jakarta