Cerpen : Aku Mencintaimu Ibu
Karya : Imron Prayogi
Sejak kamu terlahir, senyuman dan raut wajah Ibu kamu begitu bersinar saking senang akan buah hatinya yang terlahir. Tangan halus Ibu membelai wajah kamu yang masih mungil, polos, menggemaskan. Menatapmu dengan hangat penuh kelembutan. Ada rasa syukur yang membuncah memenuhi hatinya. Hatinya saat itu penuh dengan lantunan doa, semoga anak ini kelak menjadi anak yang sholeh dan tumbuh menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesamanya. Saat Ibumu berjalan sambil menggendongmu selagi kamu masih bayi sekedar membeli sayur-mayur atau sekedar jalan-jalan sore, dia berjalan dengan penuh rasa bangga, ini adalah anakku – karena ada dirimu yang sedang digendong olehnya. Semua usaha dan pengorbanan yang Ibu berikan tak pernah jadi soal, selama kebutuhan kamu tercukupi dan kamu bertumbuh sehat seperi anak-anak seusia kamu yang lain. Bagi Ibu, kamu tumbuh menjadi anak yang sehat , bersekolah dengan rajin, bermain dengan riang, dan selalu mudah untuk dimintai bantuan oleh Ibu, itu semua sudah membuat Ibu senang.
Jalinan kasih sayang yang sudah terbina sekian lama membuat hati Ibu dan kamu terhubung erat dan sangat dekat. Selamanya Ibu berharap bisa berada disisimu, mendampingimu di masa remajamu, menemanimu di masa kamu sedang mengalami kesulitan, mendekapmu di kala kamu sedang sedih. Namun manusia hanya bisa berharap, Tuhan yang Maha Menentukan. Ketika ekonomi keluarga sedang turun dan dari waktu ke waktu bertambah sulit, Ibu hanya memikirkan cara bagaimana kamu bisa melanjutkan sekolah. Bagaimana cara agar kamu bisa menjemput janji-janji kehidupan yang baik. Hari-hari yang berat Ibu rasakan saat itu. Malam-malam panjang, doa lirih Ibumu teruntai dalam sujud panjang berharap menemukan jalan keluar dari masalah kesulitan ekonomi yang dihadapi Ibu. Doa yang dimana bila saja kamu mendengarkannya dan memahaminya kala itu, hatimu akan penuh rasa haru bercampur sesak. Karena doa yang Ibumu panjatkan berasal dari hati yang tulus dan penuh pengharapan. Karena Ibumu selalu mengirimimu doa yang amat sangat spesial untukmu… untukmu. Dan kamu percaya? Doa itu masih terus berlanjut hingga saat ini dan masa-masa yang akan datang. Ibumu selalu memiliki waktu untuk itu. Selalu.
Kabar baik itu datang dari Kakak sulung Ibu memberi informasi mengenai panti asuhan dengan beasiswa penuh di daerah Bekasi. Di saat itu mesti memilih. Bagi Ibu itu merupakan pilihan yang berat. Sangat berat. Tidak pernah terpikir bagi seorang Ibu untuk menitipkan anaknya ke tempat yang jauh dari jangkauannya. Tidak pernah hati Ibu terbersit untuk hidup tanpa anaknya berada disisinya. Sungguh, ini pilihan yang sangat sulit bagi Ibu. Setelah beberapa hari mempertimbangkan ide itu dan mencoba berfikir realistis, akhirnya Ibu mengambil keputusan, kamu harus melanjutkan sekolah di panti asuhan tersebut. Malam harinya Ibu merapikan dan mengemasi beberapa setel pakaian ke dalam tas punggung untuk bekal kehidupan di lingkungan barumu esok hari lalu memanggilmu dengan raut wajah gembira Ibu berkata, “Fahmi, kamu dengarkan nasihat Ibu. Besok kamu akan kembali sekolah tapi tidak di sini. Kamu akan kembali bersekolah di Bekasi dan kamu akan tinggal di Panti Asuhan.” Kamu yang saat itu masih anak yang berusia belum genap sembilan tahun dengan polosnya menyetujui pesan Ibu. Kamu tersenyum lebar mendengar kabar Ibu. Yang terpikir olehmu adalah akhirnya kamu bisa melanjutkan sekolah kembali setelah sekian minggu terhenti karena faktor ketidaksanggupan membayar biaya sekolah.
Hari yang dinanti tiba. Sebelum berangkat ke panti asuhan, kamu berpamitan dengan teman-teman dan beberapa tetangga di sebelah rumah. Beberapa teman akrab yang sudah cukup lama mengenalmu ikut menemanimu hingga jalan rata untuk menaiki mobil angkot. Kamu berjalan dengan tegap tanpa rasa khawatir akan perpisahan sudah menanti di depan mata. Tiba di pinggir jalan raya, kamu berjabat tangan dan melambaikan tangan ke arah teman-temanmu sambil berkata, “Aku akan cepat kembali lagi kesini. Ke rumah ini.” Kamu yang waktu itu masih belum mengerti akan kata cepat kembali sudah memiliki harapan untuk segera kembali ke rumah ini.
Sepanjang perjalanan dalam mobil angkot, separuhnya kamu lewati dengan duduk tertidur di samping Ibumu. Kamu tahu? Selama perjalanan Ibu menatap wajahmu yang putih dengan lekat sekali, tatapan yang begitu lembut, tatapannya seperti ingin menolak perjalanan ini namun apa daya ini pilihan terbaik untuk masa depanmu. Mengusap dan membelai rambut dan keningmu penuh kasih sayang, layaknya seorang Ibu yang ingin selalu dekat dengan anaknya. Sesekali dia tersenyum kecil menghibur dirinya, perpisahan ini hanya sebentar. Lalu membisikkan kata di telingamu dengan suara lirih agak tertahan, “Ibu mencintaimu Fahmi dan selalu akan mencintaimu.”
Tiba di sebuah perempatan terakhir, Ibu dan kamu turun dari angkot. Untuk sampai ke panti asuhan kamu mesti berjalan kaki seratus meter. Kamu turun dengan wajah bingung, ada pertannyaan di bola matamu Bu, kita dimana?. Ibu memahami tatapanmu lalu berkata “Fahmi, panti asuhan sudah dekat. Kita butuh berjalan kaki sekitar lima menit dari sini.” Sebelum berjalan, Ibu memintamu untuk duduk sejenak di trotoar pinggir jalan dan memberimu minum dalam botol yang sudah diisi air dari rumah. Lalu Ibu terdiam. Kamu tahu apa yang Ibu rasakan saat itu? Kamu tahu hati Ibu yang saat itu berkecamuk hebat. Ada keraguan yang besar saat Ibu ingin melangkahkan kaki ke panti asuhan yang sudah sangat dekat itu. Kamu tahu, tidak ada seorang Ibu yang tega menitipkan anaknya yang masih usia sembilan tahun ke tempat lain, entah itu panti asuhan, rumah saudaranya, atau tempat-tempat lainnya. Setiap Ibu selalu ingin anaknya tumbuh besar dan hidup berdampingan dengan anaknya. Ibu ingin kamu selalu berada di sisinya. Menemanimu meniti hari-hari panjang yang akan membuatmu tumbuh dewasa, mengajarimu untuk bertutur kata yang sopan dan berperilaku yang baik, mendampingimu saat-saat dirimu mulai remaja dalam menemukan jati diri, berbagi cerita melepaskan penat pikiran dan diskusi hangat di meja makan yang sering kali mengundang tawa dan senyummu.
Sekilas kamu melihat wajah Ibumu. Lalu tangan kananmu menyentuh tangan Ibu dengan polos kamu bertanya, “Ibu kenapa terdiam?” Kamu menarik tangan Ibu, “Ibu, ayuk kita lanjutkan perjalanan sudah sebentar lagi kan kita akan sampai, iya kan Bu?” Ibumu menangkap sinyal dari sinar matamu, aku ingin segera bersekolah. Dari pertanyaanmu dan sorot matamu itu membuat Ibu berani melanjutkan langkah kaki hingga tiba di panti asuhan dan bertemu Ibu pengasuh. Lalu Ibu mengawali pembicaran dengan Bunda –santri-santri panti asuhan memanggil Ibu pengasuh dengan nama Bunda- dengan memberikan penjelasan tentang dirimu, tentang karakter dirimu, tentang hobimu, dan tentang kondisi ekonomi keluarga. Setelah itu Bunda memberikan kamu kertas diatasnya bertuliskan tata tertib. Bunda berkata, “Fahmi, silahkan tata tertib itu dibaca dengan cermat, pahami setiap poin-poinnya, lalu kamu katakan kepada Bunda apakah kamu bersedia mematuhi tata tertib itu selama kamu tinggal di panti asuhan ini?” Kamu membacanya setiap detail kata demi kata, poin demi poin, sambil kamu pahami, setelah itu kamu merasa yakin, lalu kamu berkata lembut, “Aku bersedia dan aku akan berusaha menyanggupi untuk mematuhi seluruh tata tertib di panti asuhan ini,” ucapku dengan memberi penguatan pada kata bersedia dan menyanggupi.
Ini adalah menit-menit yang sangat berat bagi Ibu. Ada rasa sedih dan haru yang menyelinap di ruang hatinya. Dimana inilah saatnya melepasmu di tengah orang yang baru dikenalnya. Berpisah dengamu yang berarti menjauh dari anak yang sangat dicintai sepenuh hati dan jiwanya. Semua rekaman masa lalu seketika itu hadir bertubi-tubi memenuhi benak dan pikiran Ibu. Masa-masa dimana kamu menangis saat masih bayi, lalu Ibumu mendekatimu, memelukmu, dan memberimu apa yang kamu butuhkan kala itu lalu kamu berhenti menangis, masa-masa dimana kamu masih belajar merangkak- Ibumu dengan sabar melatihmu perlahan sambil menyemangatimu dengan senyum hangatnya-, hingga kamu bisa berjalan seperti saat ini. Masa dimana bibirmu mengeja dengan terbata-bata memanggil nama I..bu, Ib..bu, Ibu.
Sebelum pamit dengan Bunda, Ibu setengah merunduk menghadapmu lalu kedua tangannya menyentuh pundakmu, menatapmu dengan sorot mata cerah seolah-olah kuat, lalu berkata, “Fahmi, Ibu mesti pamit dari sini. Kamu yang betah ya disini. Walau Ibu tidak ada didekatmu, tapi disini ada Bunda yang akan menjagamu. Kamu anak yang hebat Fahmi. Ibu bangga memiliki anak sepertimu. Kamu selalu membuat Ibu senang, membuat Ibu tersenyum, membuat Ibu bangga atas prestasi belajarmu, dan sampai hari ini belum sekalipun kamu membuat Ibu kecewa. Sekarang…. kamu mesti membuat Bunda senang dan kamu jangan buat Bunda kecewa ya. Ibu yakin kamu….. kamu bisa menjalani hari-hari selanjutnya… seperti hari-hari biasanya.” Perlahan air mata Ibumu telah menetes di pipinya. Bening sekali. Kemudian terisak dalam tangisnya. Ibumu terdiam menarik nafas dalam. Wajah Ibumu menunduk. Mengumpulkan tenaga untuk mengucapkan kata selanjutnya. Kamu yang belum mengerti arti perpisahan saat itu ikut terharu. Matamu memanas, ada gumpalan bening yang hendak jatuh namun kamu masih bisa menahannya.
Setelah perpisahan ini mungkin kamu akan mengerti betapa beratnya Ibu melepasmu dan berpisah denganmu. Bunda yang berdiri disamping Ibu ikut terhanyut dalam suasana mengharukan ini. Dia juga berkali-kali menyeka air matanya dengan tisu di tangannya. Sesekali tangan Bunda menyentuh pundak Ibumu, matanya menatap mata Ibu seolah tersirat pesan, jangan bersedih Bu, aku berjanji akan menjaga anakmu.
Ibu kembali mendongakkan wajah dan menatapmu dengan nafas sedikit lega lalu berkata dengan suara tertahan, “Jaga dirimu baik-baik disini ya. Ibu mencintaimu Fahmi…sangat-sangat mencintaimu..” Ibu menghambur memelukmu erat sekali. Rasa sedih yang Ibu rasakan membuatmu mengerti betapa sedih jiwa Ibu melepasmu dalam menjalani perjalanan panjang ini tanpa Ibu di sampingmu. Kamu terdiam dalam pelukan Ibumu. Seketika itu kamu merasakan apa yang Ibumu rasakan. Wajahmu menunduk dalam. Rasa sesak memenuhi hatimu. Air matamu menderas. Kamu menangis sesenggukan. Lalu kamu mencoba mengangkat wajahmu dan menatap hangat Ibumu lalu dengan suara lirih kamu berkata, “Aku…Aku…Aku juga mencintai Ibu karena Allah.” Tangismu semakin keras. Ibu kembali memelukmu.
Dengan nafas yang sudah agak teratur kamu kembali berkata, “Perpisahan ini hanya sementara iya’ kan Bu? Terima kasih sudah menjadi Ibu yang teramat istimewa bagiku. Aku akan selalu merinduimu Ibu. Aku berjanji aku akan segera kembali pada Ibu.”
“Iya Fahmi, perpisahan ini hanya sementara Fahmi. Ibu akan selalu menantimu kembali pada Ibu. Selalu.” Ucap Ibu sambil mengecup keningmu.
Ibu pamit pada Bunda. Lalu dia berjalan ke arah jalan raya kemudian menaiki mobil angkot menuju rumah. Hari telah senja. Sebagian awan hitam membuat langit gelap. Mendung. Sore ini Aku berdoa penuh penghayatan dan pengharapan.
“Ya Allah, rahmatilah kebaikan Ibuku. Berikan ia kelapangan hati dan jiwa yang kuat dalam perpisahan sementara ini. Ya Allah, aku memohon hidayah-Mu agar aku menjadi anak yang soleh. Karena dengan kesalehan itu Engkau akan selalu mendengar doaku untuk Ibu.”
Jakarta, 29 Oktober 2016